Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptococcus Pada Anak

Glomerulonefritis adalah suatu penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi sel glomerulus. Peradangan pada ginjal ini mempunyai efek terhadap mekanisme imunologi terkait infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A tipe nefriogenik yang masuk dalam fase hematogen akibat dari pengobatan tidak adekuat pada penyakit Faringitis, tonsillitis ataupun penyakit dermatitis lainnya.

Setelah pengobatan yang tidak adekuat menyebabkan bakteri tersebut berjalan ke sirkulasi dan mengendap di berbagai organ mulai dari jantung, paru-paru hingga ginjal, efek terbesar adalah di bagian ginjal dan jantung dimana terdapat persilangan protein antigen alami tubuh terhadap antigen streptococcus yang mengalami reaksi silang sehingga kompleks antibody gagal untuk menentukan dan menemukan dimana letak antigen asli buatan streptococcus. Dengan ciri awitan klinis sindroma nefritik yang berupa kumpulan sindrom meliputi : gross hematuria (kencing darah), edema (sembab), hipertensi dan kegagalan ginjal akut.

bakteri streptococcus

Sekarang di Indonesia yang merupakan Negara berkembang, kasus Glomerulonefritis akut pasca streptococcus (GNAPS) masih dalam angka tinggi dan terbanyak untuk kasus kelainan ginjal akut pada anak-anak. Rentang umur untuk infeksi GNAPS adalah 2-8 tahun atau masa-masa sekolah dan anak laki-laki lebih dominan untuk terinfeksi. Dimana pasa masa ini higienitas, kebersihan dan perilaku hidup sehat belum tersentuh atau diajarkan secara adekuat. GNAPS juga masih tinggi dikarenakan pola hidup masyarakat Indonesia terhadap pengobatan suatu penyakit tidak secara tuntas dan datang pada saat infeksi GNAPS telah berlangsung kronis. Iklim pun berpengaruh terhadap infeksi GNAPS dimana iklim tropis dianggap pas dan cocok untuk pertumbuhan dari streptococcus.

Faktor genetik mempengaruhi pathogenesis dari infeksi streptococcus terhadap tubuh seorang manusia dimana dalam tes laboratrium ditemukan peran dari HLA-D dan HLA-DR sehingga menunjukkan perubahan pada masa laten dengan kelainan pada membrane basal glomerulus pada proses imunologis. Diduga respons yang berlebihan dari sistim imun pejamu terhadap stimulus antigen sehingga terbentuklah kompleks antibody-antigen (ab-ag) yang akan melintasi membrane basal glomerulus. Dari sinilah terdapat aktivasi sistim komplemen yang melepas substansi yang akan menarik neutrophil. Enzim lisosom yang dilepas oleh neutrophil akan lebih berespons responsive untuk merusak. Teori hipotesis lainnya akibat neuramidase yang dihasilkan streptococcus akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi terhadap IgG yang berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan kompleks imun bersirkulasi kemudian mengendap dalam ginjal.

Pada kasus glomerulonephritis ringan ditemukan secara mikroskopis berupa proliferasi ringan sampai sedang pada sel mesangial dan matriks. Pada kasus berat akan ditemukan proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang difus disertai juga sel polimorfonukleat dan monosit serta ada penyumbatan lumen kapiler. Endapan immunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh IgG dan sebagai jumlah kecil IgM atau IgA yang dapat dilihat melalui mikroskop immunoflourensi. Sedangkan pasa mikroskop electron ditemukan deposit padatan elektron atau humps terletak di daerah subepitelial yang khas dan akan beragregasi menjadi Ag-Ab kompleks.

Gejala Klinis Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS)

Gejala Klinis pada GNAPS sebagai informasi awal untuk membenarkan anak tersebut terkena GNAPS ditemukan gejala asimptomatik 50%. Dimana kasus klasik terdapat sebelumnya mengalami infeksi napas atau dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya sembab.

Periode laten setelah 10-21 terinfeksi pada nyeri tenggorokan dan infeksi kulit. Dan ditemukan juga sebagai berikut :

  • Hematuria dapat timbul dengan gross hematuria ataupun secara mikroskopik, ditemukan 30-50% pada anak dirawat inap.
  • Variasi lain tidak spesifik seperti : demam, malaise, nyeri, penurunan nafsu makan, nyeri kepala atau lesu.
  • Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertensi pada pasien GNAPS mulai dari ringan hingga sedang, dengan ciri khas akan meninggi pada 3-5 hari dan akan turun perlahan-lahan 1-2 minggu.
  • Edema bisa berupa wajah sembab, mulai dari daerah orbita mata dan bagian kaki (pretibial).
  • Asites dapat ditemukan dalam 35% kasus edema GNAPS.
  • Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipne dan dyspnea.
  • Gejala dapat juga disertai oliguria sampai anuria karena penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG).

Pemeriksaan Penunjang GNAPS

Dalam pemeriksaan Laboratrium dapat ditemukan sebagai berikut :

  • Pemeriksaan urin ditemukan volume berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti air cucian daging segar.
  • Eritrosit 60-85% kasus dengan adanya tanda perdarahan pada glomerulus dan ditemukan juga hematuria secara makros maupun mikros.
  • Proteinuria dalam urin sebanding dengan kasus hematuria asalkan tidak melewati batas 2gr/m2.
  • LFG berkurang disertai kapasitas ekskreasi air dan garam menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraseluler.
  • Anemia akan hilang jika sembab (edema) juga hilang serta berkorelasi pada volume cairan dan urin dan beberapa penelitian menyatakan bahwa masa hidup eritrosit berkurang akibat perubahan serum protein dan pengaturan hormone.
  • Uji kultur dan biakan menjadi gold standar, didukung dengan ditemukan uji serologi respons imun terhadap antigen streptococcus. Peningkatan titer antibody terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi setelah 10-14 hari.
  • Penurunan kadar serum komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama, sedang kadar properdin menurun hingga 50%, untuk IgG sering meningkat 1600mg/100ml. pada awal penyakit terdapat krioglobulin dalam sirkulasi mengandung IgG, IgM dan komplemen C3.
  • Hampir sepertiga pasien mengalami bendungan paru dengan gambaran radiologis berupa kardiomegali 84,5%, bendungan sirkulasi paru 68,2%, dan edem paru 63,5%.

Pengobatan Glomerulonefritis Akut (GNAPS)

Untuk penatalaksanaan GNAPS Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat (klirens kreatinin 50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria menetap.

  • Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau anti hipertensi. Bila hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi. Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik > 140 –150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual. Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti hipertensi yang lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpine 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit. Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama furosemid 2 mg/kgBB iv. Pilihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan.
  • Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium. Asupan cairan sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari ) ditambah setengah atau kurang dari urin yang keluar. Bila berat badan tidak berkurang diberi diuretik seperti furosemid 2mg/ kgBB, 1-2 kali/hari.
  • Pemakaian antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan biakan positif harus diberikan antibiotic untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin. Pembatasan bahanmakanan tergantung beratnya edem, gagal ginjal, danhipertensi.
  • Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea 61 N kurang dari 75 mg/dL atau 100 mg/dL.
  • Bila terjadi azotemia asupan protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari.
  • Pada edem berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan bila edem minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari. Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Anuria dan oliguria yang menetap, terjadi pada 5-10 % anak.
  • Penanganannya sama dengan GGA dengan berbagai penyebab dan jarang menimbulkan kematian.

#